Rabu, 20 Juni 2012, akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan karyawan Hotel Papandayan Bandung dengan Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011 yang menyatakan :
Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa perusahaan tutup tidak dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu ;
Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) pada frasa perusahaan tutup tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu;
Dimana Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa Perusahaan Tutup pada pasal 164 ayat 3 tersebut tidak mempunyai definisi yang jelas dan rigid, apakah perusahan tutup yang dimaksud tersebut perusahaan tutup secara permanen atau perusahaan tutup secara sementara. Penjelasan Pasal 164 UU 13/2003 hanya menyatakan cukup jelas. Dengan demikian, siapa saja dapat menafsirkan norma tersebut sesuai dengan kepentingannya masing-masing misalnya menganggap penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan menjadikannya sebagai dasar melakukan PHK. Tafsiran yang berbeda-beda tersebut dapat menyebabkan penyelesaian hukum yang berbeda dalam penerapannya, karena setiap pekerja dapat diputuskan hubungan kerjanya kapan saja dengan dasar perusahaan tutup sementara atau operasionalnya berhenti sementara. Hal demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan pekerjaan untuk pekerja/buruh dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja ;
Selain memberikan kepastian hukum mengenai pengertian perusahaan tutup, pada pasal 164 ayat 3 UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan salah satu bentuk usaha efesiensi dari perusahaan. Namun, hal tersebut harus merupakan pilihan terakhir dalam upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan. Upaya-upaya yang dimaksud adalah sebagai berikut (sesuai juga dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rl yang terkait dengan pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Nomor SE.907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 dan Nomor SE.643/MEN/PHI-PPHI/IX/2005):
1. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
2. Mengurangi shift;
3. Membatasi/menghapuskan kerja lembur;
4. Mengurangi jam kerja;
5. Mengurangi hari kerja;
6. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
7. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
8. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Sebelum melihat lebih lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Arti kata efisien yaitu:
1. Tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya);
2. Mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat; berdaya guna; bertepat guna; sangkil.
Sehingga berdasarkan pengertian diatas dan pemikiran mendalam, efisien mengandung pengertian sebagai penggunaan sumber daya minimal untuk menghasilkan output dengan volume yang diharapkan (hasil yang optimum), menggunakan sumber daya secara bijak dan hemat, pengoperasian dengan sesuai sehingga tidak ada sumber daya yang terbuang. Efisiensi menganggap bahwa tujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha untuk mencari cara yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut. Efisiensi hanya dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan keluaran yang diterima. Misalnya, suatu pekerjaan dapat dikerjakan dengan cara A dan cara B. Untuk cara A dapat dikerjakan selama 1 jam, sedangkan cara B dikerjakan dengan waktu 3 jam. Dengan demikian, cara A baru bisa dikatakan cara yang efisien (cara yang benar) bila dibandingkan dengan cara B.
Sesuai dengan pengertian diatas, perusahaan yang melakukan efisiensi adalah perusahaan yang sedang berusaha mencari cara yang paling baik dengan menggunakan sumber daya minimal untuk menghasilkan output dengan volume yang diharapkan (hasil yang optimum), menggunakan sumber daya secara bijak dan hemat, pengoperasian dengan sesuai sehingga tidak ada sumber daya perusahaan yang terbuang.
Dari penjelasan tentang makna efisiensi di atas, adapun bunyi pasal 164 UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2. Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
3. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Dapat dilihat bahwa pasal 164 UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan tutup. Jadi yang digarisbawahi dalam hal ini adalah perusahaan tutup dan penyebabnya adalah karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun, atau keadaan memaksa (force majeur) (pasal 164 ayat 1) dan bukan karena mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun, atau keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi (pasal 164 ayat 3). Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 164 ayat 3 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak jelas apa yang dimaksud mengenai perusahaan tutup, karena banyak diartikan perusahaan tutup sebagian atau perusahaan tutup sementara dan bebagai bentuk penafsiran lain.
Setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 164 ayat 3 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah ada kepastian mengenai arti dari perusahaan tutup, yaitu perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.
Namun jika melihat bunyi pasal setelah putusan Mahkamah Konstitusi maka berbunyi:
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup (perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu) bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Dari bunyi pasal diatas dapat dilihat terjadi suatu pertentangan antarfrasa perusahaan tutup permanen dengan perusahaan melakukan efisiensi. Bagaimana mungkin suatu perusahaan melakukan efisiensi (lihat pengertian efisiensi diatas) dengan cara menutup perusahaan secara permanen. Jika perusahaan telah tutup permanen berarti perusahaan sudah berhenti dalam segala upaya bagi peningkatan kinerja perusahaan dan konsekuensi logis, jika perusahaan tutup pasti pekerjanya akan di-PHK atau berhenti dengan sendirinya karena perusahaan sudah berhenti beroperasi.
Untuk mencegah penerapan pasal 164 ayat 3 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tidak sesuai dengan tujuannya, Kemnakertrans sebagai pemangku kebijakan di bidang ketenagakerjaan harus segera membuat aturan pelaksana mengenai; klasifikasi perusahaan dianggap tutup pemanen, prosedur PHK karena perusahaan tutup permanen, dan memperjelas makna perusahaan melakukan efisiensi.
Daftar Pustaka
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011
Undang – Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Surat Edaran Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. SE. 643/MEN/PHI-PPHI/IX/2005 Tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
About the author